Sabtu, 17 Juli 2010

Antara Dosa dan Ampunan

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...Bismillah,Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ala Rasulillah wa ala alihi wa Shohbihi wa Manwalah,waba'du
Saudara-Saudari yang saya cintai lillahi ta'ala

Baru-baru ini ada seorang saudara kita yang bertanya melalui Inbox Oleh karena pertanyaannya bersifat umum, insyaAllah Saya akan menjawabnya lewat artikel ini, sehingga mudah-mudahan dapat pula dijadikan sebagai pencerahan bagi kita semua, aamiin.

Adapun pertanyaannya sebagai berikut:

Dosa apakah yang tidak diampuni Allah ta’ala? Dosa apakah yang lebih besar daripada dosa semacam meninggalkan salat, mencaci dengan cacian keji, dan berzina? Siapa yang diharamkan dari rahmat Allah ta’ala?


Saudara-saudariku rahimakumullah…

Ada pun yang dipahami dari ajaran Islam adalah, bahwa Allah ta’ala mengampuni seluruh dosa yang telah dilakukan oleh yang bertobat kepada-Nya. Jika Allah ta’ala menerima tobat dari orang yang kafir, maka itu artinya bahwa kekufuran orang itu telah hilang darinya dengan datangnya Islam, sehingga kekufurannya diampuni dengan keislamannya. Karena, Islam memutus apa yang sebelumnya. Ini sebagaimana dikatakan hadits. Dan juga karena Allahta’ala telah berfirman di dalam surah al-Anfal ayat (38), “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu .”

Artinya, jika mereka berhenti dari kekufurannya, dan masuk kedalam Islam dengan sesungguhnya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu sebelum mereka masuk Islam.

Akan tetapi setelah itu, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang dilakukan seorang manusia dan belum ditobati hingga meninggalnya, tetap tersisa. Tidak diragukan, bahwa rahmat Allah ta’ala mengampuni semua dosa orang yang dikehendaki-Nya, kecuali syirik. Karena, Allah ta’ala telah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersektukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya .” (QS Al-Maidah: 116)

Diriwayatkan bahwa Nabi saw membaca firman Allah ta’ala yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Lalu seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, juga termasuk dosa-dosa syirik?” maka turunlah ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersektukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya .” (QS Al-Maidah: 116)

Imam Al-Qurthubi mengatakan tentang ayat di atas, “Ayat ini menjelaskan bahwa nasib seluruh pelaku dosa berada di tangan kehendak Allah ta’ala: Jika Dia berkehendak mengampuni maka Dia ampuni dosanya, dan jika Dia berkehendak menyiksanya maka Dia siksa atas dosanya itu, selama dosa besar itu bukan perbuatan syirik kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala mengampuni dosa-dosa kecil dengan usaha seorang hamba menjauhi dosa-dosa besar, dan melaksanakan kewajiban. Karena, Rasulullah telah bersabda di dalam sebuah hadits sahih, “Salat lima waktu dari waktu jumat ke jumat yang lain, dari Ramadhan ke Ramadhan yang lain, adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya, selama seseorang tidak melakukan dosa-dosa besar.” Sebagian ulama mengatakan, sesungguhnya Allah ta’ala telah menerangkan hal ini di dalam firman-Nya, “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosa kecilmu).” (QS An-Nisa: 31)

Allah ta’ala hendak menghapus dosa-dosa kecil orang yang menjauhi dosa-dosa besar, namun tidak mengampuni dosa-dosa kecil orang yang melakukan dosa-dosa besar.

Para ulama mengatakan bahwa di dalam pandangan Ahlusunah dosa-dosa besar akan di ampuni oleh Allah ta’ala bagi orang yang meninggalkannya dan bertobat darinya sebelum meninggal. Namun, bisa saja Allah mengampuni seorang Muslim yang mati dalam keadaan membawa dosa besar. Karena, setelah Allah mengatakan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa menyekutukan sesuatu dengan-Nya (syirik), Allah ta’ala berkata, “Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik.” (QS. An-Nisa: 48)

Adapun maksud dari ayat ini adalah orang yang mati dalam keadaan membawa dosa. Karena, jika yang dimaksud oleh ayat ini adalah bagi orang yang bertobat sebalum mati, maka tidak ada bedanya antara dosa syirik dengan dosa-dosa lainnya. Karena, orang yang bertobat dari dosa menyekutukan Allah akan di ampuni dengan keislaman dan keimanannya.

Para mufassir menyebutkan bahwa tidak ada yang kekal di dalam neraka kecuali orang yang kafir. Adapun orang Muslim yang berdosa, jika dia mati dalam keadaan tidak bertobat maka Allah ta’ala akan menyiksanya di dalam neraka untuk sementara, dan kemudian mengeluarkannya dengan rahmat-Nya.

Adh-Dhihak meriwayatkan bahwa seorang Arab tua datang kepada nabi saw dan berkata, “Ya Rasulullah, aku orang tua yang disibukkan dengan dosa dan kesalahan, namun aku tidak pernah menyekutukan sesuatu dengan Allah sejak aku mengenal-Nya dan beriman kepada-Nya. Lalu bagaimana keadaanku di sisi Allah?” maka Allah ta’ala menurunkan ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya .” (Qs An-Nisa: 48)

Selanjutnya, kita perlu ketahui bahwa sebagian dosa besar lebih besar dosanya dari sebagian dosa besar yang lain, sesuai dengan kebanyakan bahaya yang dimiliki masing-masingnya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya. Dosa syirik adalah yang paling besar dibandingkan seluruh dosa besar. Dosa syirik inilah yang tidak akan diampuni oleh Allah ta’ala dengan nas Al-Qur’an al-Karim yang berbunyi, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu .” (QS Al-A’raf: 156)

Dosa besar selanjutnya adalah berputus asa dari rahmat Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an al-Karim, “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” (QS.Al-Hijr: 56)

Dosa besar selanjutnya adalah merasa aman dari azab Allah dengan tetap terus melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Allah ta’ala berfirman, “Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS Al-A’raf: 99)

Berikutnya adalah dosa membunuh. Karena, membunuh berarti melenyapkan nyawa dan meniadakan sesuatu yang ada. Selanjutnya adalah dosa zinah, karena zinah menyebabkan campur aduknya nasab. Berikutnya adalah minum khamar, karena khamar menghilangkan akal. Berikutnya adalah kesaksian palsu, dan dosa-dosa besar lainnya yang jelas dan tampak bahayanya. Termasuk ke dalam kelompok dosa besar pula adalah bermain judi, mencuri, mencaci maki para pendahulu yang saleh, berbohong di dalam sumpah, dan berbuat kerusakan di muka bumi. Setiap dosa yang agama dengan keras mengancamnya dengan siksa, atau bahayanya sedemikian jelasnya, maka itu adalah dosa besar.

Wallahu Tabaraka wa Ta’ala A’lam.

Barakallahu fiikum,
Wassalamu’alaikum wr.wb.
~H.A.Khudori Yusuf.Lc.M.A~
Jawaban diambil dari Kitab Yas'alunaka fiddini wal hayah.juz 2 halaman 503 Penyusun Syaikh DR.Ahmad Ribasyi .Beliau salah satu Guru Besar di Universitas Al-Azhar

Keteladanan Nabi Yusuf 'Alaihissalam Dalam Menghadapi Godaan Wanita

Yusuf berkata: "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." [33].Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [34].(Qs Yusuf/12:33-34)

PENJELASAN AYAT

Kilas Balik Fitnah Wanita yang Mengancam Nabi Yusuf 'Alaihissalam .

Setelah selamat dari lubang sumur dan berpindah-tangan ke pejabat besar Mesir, kemudian Nabi Yusuf 'Alaihissalam tinggal dalam kemewahan. Beliau ternyata diperlakukan dengan baik, bukan layaknya budak belian pada umumnya. Tatkala usianya menginjak remaja, ketampanan paras menjadi simbol yang melekat pada beliau. Dalam peristiwa Isra` Mi'râj, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa salam menjumpainya di langit tingkat ketiga dan beliau berkomentar: "Sungguh, ia diberi separuh ketampanan (penduduk dunia)".1
Ketampanan Nabi Yusuf 'Alaihissalam ini telah membuat istri majikannya terpikat, dan ia pun membuat rencana untuk memperdaya dan menjerumuskan Nabi Yusuf 'Alaihissalam ke dalam perbuatan hisyah (perzinaan). Namun, Allah Ta'ala melindungi beliau dari perbuatan maksiat tersebut.
Berita tergodanya istri pembesar Mesir dengan budaknya menyebar sampai ke telinga-telinga kaum Hawa pada masa itu. Awalnya, mereka mencela istri pembesar Mesir atas kejadian tersebut. Akan tetapi, wanita istri pembesar Mesir tidak kurang akal. Ia menempuh sebuah cara supaya wanita-wanita itu membenarkan dirinya sehingga sampai terpikat dengan seorang remaja bernama Yusuf 'Alaihissalam .
Maka didatangkanlah wanita-wanita itu supaya menyaksikan sendiri ketampanan Nabi Yusuf 'Alaihissalam . Ternyata benar, mereka benar-benar tersihir oleh keelokannya. Bahkan mereka menganggapnya sebagai malaikat, lantaran sedemikian tampan paras beliau.
Keterpukauan dan kekaguman ini sampai mengakibatkan mereka tidak menyadari telah mengiris tangan-tangan mereka sendiri dengan pisau-pisau yang sengaja telah disediakan oleh istri pembesar Mesir, untuk membalas tipu daya wanita-wanita tersebut, yang sebenarnya juga memendam hasrat besar untuk menyaksikan keelokan wajah Nabi Yusuf 'Alaihissalam dengan mata kepala mereka sendiri. Bukan murni untuk mencela istri sang pembesar Mesir itu.
Selanjutnya, istri pembesar Mesir memberitahukan kepada para wanita yang hadir, mengenai kepribadian bagus yang tertanam pada diri Nabi Yusuf 'Alaihissalam . Yaitu, sifat 'iffah (ketangguhan untuk menjaga kehormatan diri), tidak sudi menyambut ajakan berbuat tidak senonoh. Karena penolakan itu, muncullah ancaman dari mulut wanita istri pembesar Mesir itu. Yakni dijeblosankannya Nabi Yusuf 'Alaihissalam ke dalam penjara dan hidup dalam keadaan terhina.

Nabi Yusuf 'Alaihissalam Memohon Perlindungan kepada Allah Ta'ala .
Saat itulah Nabi Yusuf 'Alaihissalam berlindung diri dengan Rabbnya, dan beliau memohon pertolongan kepada-Nya dari keburukan dan tipu-daya.

(Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku). Ini menunjukkan bahwa para wanita itu menyarankan Nabi Yusuf 'Alaihissalam supaya patuh terhadap tuan putrinya, dan mengupayakan untuk memperdaya Yusuf 'Alaihissalam dalam masalah ini. Akan tetapi, Nabi Yusuf 'Alaihissalam lebih menyukai terkurung dalam penjara dan siksaan duniawi ketimbang kenikmatan sesaat yang akan mendatangkan siksaan pedih.

Sekaligus, ayat di atas juga mencerminkan bahwasanya istri pejabat masih saja mendesak Nabi Yusuf 'Alaihissalam untuk mau menerima ajakannya, dan mengancamnya dengan penjara dan kurungan, bila menolak ajakan itu. Pasalnya, seandainya wanita itu tidak menekan dan melancarkan ancaman, maka mustahil membuat Nabi Yusuf 'Alaihissalam sampai mengatakan "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku".
Walaupun banyak kondisi yang sangat mendukung terjadinya perbuatan zina yang nanti akan dikemukakan satu-persatu, tetapi Nabi Yusuf 'Alaihissalam lebih mengutamakan ridha dan rasa takut kepada Allah Ta'ala . Begitu juga kecintaan kepada-Nya, telah mendorongnya untuk memilih hari-harinya hidup di bui daripada berbuat zina.

[Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)] Jika Engkau (wahai Rabbku) menyerahkan pengendalian urusan ini kepada diriku sendiri, sesungguhnya aku lemah, tiada daya, tidak mempunyai kekuatan, tidak sanggup mendatangkan bahaya dan kemanfaatan kecuali dengan bantuan dan kekuatan-Mu. Engkaulah tempat memohon pertolongan, kepada-Mulah tempat sandaran, jangan Engkau serahkan pada diriku sendiri

(dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh).

Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan: "Dengan kecondonganku kepada mereka, aku akan menjadi orang-orang yang tidak mengetahui hak-Mu dan menentang perintah dan larangan-Mu". 6
Penyambutan terhadap ajakan itu, menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa dan berhak menyandang celaan atau telah bertindak dengan perbuatan orang-orang yang tolol. Karena berarti lebih mengutamakan kenikmatan sesaat, dan akan sangat menyengsarakannya di akhirat kelak daripada kenikmatan abadi dan kesenangan yang beraneka macam di Jannatun-Na'im. Orang yang memilih ini daripada itu, apakah ada orang yang lebih bodoh darinya?7 Dan berdasarkan ijma' para ulama, orang yang dipaksa berzina dengan ancaman penjara, tetap saja tidak boleh untuk melakukannya. 8
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: "Ia mengetahui kalau dirinya tidak mampu menghindarkan diri dari ajakan itu. Seandainya Rabbnya tidak menjaga dan menyelamatkannya dari makar para wanita itu, atas dasar nalurinya akan condong kepada mereka dan termasuk dalam golongan orang-orang yang bodoh. Ini merupakan indikasi kesempurnaan ma'rifat beliau kepada Alllah dan dirinya (yang lemah)".9
Dengan ini, Nabi Yusuf 'Alaihissalam berarti telah mencapai kedudukan yang sempurna. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perzinaan, seperti usianya yang remaja dan anugerah ketampanan dan kesempurnaan pribadi, digoda oleh majikan wanita, seorang istri pejabat Mesir yang juga berwajah elok, kaya dan berkedudukan, namun keadaan seperti itu tidak menggoyahkan keteguhan hati Nabi Yusuf 'Alaihissalam . Beliau lebih memilih hidup terhina dalam jeruji penjara daripada melakukan perbuatan buruk, karena belaiu takut kepada Allah Ta'ala dan berharap pahala dari-Nya.10
Syaikh as-Sa'di t menyebutkan rahasia Nabi Yusuf 'Alaihissalam dapat selamat dari keadaan genting tersebut. Yakni, (setelah taufiq dari Allah l ), juga karena ilmu dan akal pikiran sehat yang mengajaknya untuk lebih mengutamakan kemaslahatan dan kenikmatan yang terbesar, serta lebih mengedepankan perkara yang kesudahannya terpuji. 11
Artinya, ketika aspek jahâlah (kebodohan) membelenggu manusia, baik masih dalam taraf yang ringan ataupun sudah pekat. Hawa nafsu manusia selalu berbisik kepada obyek yang buruk-buruk, yang tidak bermanfaat lagi membahayakannya di hari esok. Demikian ini, lantaran sisi jahâlah (kebodohan) yang menguasai jiwa tersebut. Oleh karena itu, siapa saja yang mencermati Al-Qur`anul-Karim, maka akan berhenti pada kesimpulan bahwa faktor kebodohanlah yang menjadi pemicu terjadinya dosa-dosa dan maksiat. Tidak mengherankan bila Nabi Yusuf 'Alaihissalam , seperti yang diceritakan oleh Allah Ta'ala pada ayat di atas, akan menilai dirinya sebagai manusia bodoh jika menyambut ajakan wanita istri penguasa Mesir, majikannya. Nabi Yusuf 'Alaihissalam berkata: "Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh".
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: "Pada ayat ini terdapat dalil, bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa, ia melakukannya karena dorongan unsur jahâlah (kebodohan pada dirinya, Red.)".12 Begitu juga Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafizhahullah mengatakan, al-jahlu (ketidaktahuan/tidak mengenal) Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, janji baik dan ancaman, serta tidak mengenal syariatnya merupakan penyebab terjadinya setiap kejahatan di dunia.13 Banyak ayat yang menjelaskan pengertian yang sama (al-jahlu) dengan ayat di atas.
Di antaranya Allah Ta'ala berfirman saat menceritakan kaum Nabi Musa 'Alaihissalam , yang artinya: Bani Israil berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab : "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)". (Qs al-A'râf/7:138)
Firman Allah Ta'ala , yang artinya: Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu melihat(nya)?" Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)". (Qs an-Naml/27: 54-55).
Firman Allah Ta'ala , yang artinya: Katakanlah:"Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?" (Qs az-Zumâr/39:64).
Oleh sebab itu, siapa saja yang bermaksiat kepada Allah dan melakukan perbuatan dosa, maka orang itu adalah jâhil (bodoh), sebagaimana telah menjadi kenyataan yang dimaklumi oleh generasi Salafush-Shalih.
Allah Ta'ala berfirman :

Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya… (Qs an-Nisâ`/4:17). Makna bi jahâlah adalah kebodohan (ketidaktahuan) pelakunya terhadap akibat buruk dari perbuatannya, yang dapat mendatangkan kemurkaan dan siksa Allah Ta'ala . Sehingga setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Ta'ala , maka ia bodoh ditinjau dari segi ini. Kendatipun ia mengetahui (memiliki ilmu) kalau perbuatan itu memang diharamkan; kebodohannya terhadap pengawasan Allah Ta'ala , kebodohannya terhadap dampak maksiat yang bisa mengurangi keimanan atau menghapuskannya.
Qatadah rahimahullah berkata,"Para sahabat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa salam pernah berkumpul, dan mereka memandang setiap perkara yang dengannya Allah didurhakai, berarti itu bentuk jahâlah (kebodohan), baik dikerjakan dengan sengaja maupun tidak."
As-Suddi rahimahullah berkata: "Selama seseorang masih bermaksiat kepada Allah Ta'ala, berarti ia masih bodoh".


(Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf ) saat memanjatkan doa kepada-Nya.

(dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka): wanita itu masih saja bernafsu menggoda Nabi Yusuf 'Alaihissalam , dan ia menempuh segala cara yang mampu ia lakukan, tetapi Nabi Yusuf 'Alaihissalam bergeming, dan membuatnya patah arang, dan Allah pun memalingkan tipu-daya mereka dari Nabi Yusuf 'Alaihissalam .

(Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar): doa Nabi Yusuf 'Alaihissalam saat ia berdoa supaya Allah menghindarkannya dari tipu daya kaum wanita, dan doa setiap makhluk-Nya (lagi Maha Mengetahui), keinginan dan kebutuhan Nabi Yusuf 'Alaihissalam dan setiap hal yang dapat memperbaiki kondisinya serta mengetahui kebutuhan seluruh makhluk, dan hal-hal yang dapat memperbaiki keadaan mereka.Ini merupakan wujud pertolongan Allah Ta'ala kepada Nabi Yusuf 'Alaihissalam dari fitnah yang menghimpit dan berat ini.

Mengapa disebutkan bahwa Allah 'Azza wa jalla memperkenankan doa Nabi Yusuf 'Alaihissalam , padahal tidak ada doa yang muncul dari bibirnya, dan Nabi Yusuf 'Alaihissalam hanya memberitahukan jika penjara lebih disukainya daripada bermaksiat kepada Allah Ta'ala ?
Jawabnya, lantaran dengan itulah Nabi Yusuf 'Alaihissalam menyampaikan pengaduan kepada Allah 'Azza wa jalla dan [Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)] mengandung makna permohonan doa Nabi Yusuf 'Alaihissalam kepada Allah Ta'ala untuk menghindarkan dari makar para penggoda. Oleh karena itu, lantas Allah Ta'ala mengabulkan doanya.
Dalam konteks ini, sudah tentu Nabi Yusuf 'Alaihissalam masuk dalam kandungan hadits tujuh golongan yang meraih naungan Allah Ta'ala pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya. Rasulullah shollallahu 'alahi wa salam bersabda:

Ada tujuh golongan, Allah akan menaungi mereka dengan naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya. (Salah satunya disebutkan): Seorang lelaki yang diajak seorang wanita yang memiliki kedudukan dan paras elok (untuk berbuat zina), akan tetapi ia mengatakan: "Saya takut kepada Allah". (HR al-Bukhari dan Muslim).

Bahaya melupakan Al-Qur'an

Kita sering membaca atau mendengar kuliah tentang kelebihan dan kebaikan yang bakal diperolehi dengan membaca dan mengamalkan kandungan Al-Quran. Memang tidak dapat dinafikan bahawa kita perlu mengetahui kesan-kesan baik dengan melaksanakan segala kandungan Al-Quran.

Namun sejauh manakah tahap amalan kita terhadap tuntutan Al-Quran itu dilaksanakan. Sekiranya dikira dengan memberikan peratusan, angka berapakah yang kita perolehi daripada 100? Sama-samalah kita menganalisanya.

Disamping kita mengetahui kebaikan dan ganjaran atas segala perbuatan kebaikan dan kebajikan terhadap tuntutan Al-Quran, adalah amat wajar juga untuk kita mengetahui kesan buruk dan bahaya melalaikan atau melupakan Al-Quran. Apatah lagi meninggalkan terus Al-Quran, semoga dijauhkan.

Sebenarnya amat banyak kesan buruk yang akan menimpa manusia sekiranya mereka melupakan atau meninggalkan tuntutan Al-Quran. Kesan bahaya ini mungkin terkena kepada individu, komuniti masyarakat atau negara mengikut keadaan dan peringkat tuntutan Al-Quran itu sendiri.



Kesan kepada individu

1. Buta matahati

Al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia di dunia ini. Siapa yang melupakan dan meninggalkannya tidak akan dapat melihat kebenaran Allah kerana matahatinya telah gelap dan ditutupi daripada cahaya kebenaran.

“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (al-Hajj: 46)

2. Keras hati

Hati yang jauh dari petunjuk Allah menjadi keras dan sukar untuk menerima kebenaran sehingga disifatkan oleh Allah lebih keras daripada batu.

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang berimanuntuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan ramai diantara mereka menjadi orang-orang fasik” (al-Hadid: 16)

3. Sempit dada

Apabila kita bergantung kepada salain Allah (makhluk) maka kita akan bergantung kepada sesuatu yang lemah dan tidak memiliki apapun. Kita akan merasa sempit apabila bergantung selain kepada Allah apabila tidak mampu memenuhi kehendak dan keinginan kita.

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendakiNya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak…” (al-An’am: 125)

4. Lupa terhadap diri sendiri

Hubungan Allah dengan hamba-hambaNya begitu dekat. Apabila hamba dekat kepadaNya maka Allah lebih dekat lagi. Tetapi apabila hamba melupakan Allah, maka Allah akan melupakan hambaNya, bahkan menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri.

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik” (al-Hasyr: 19)

5. Fasiq

Fasiq merujuk kepada golongan yang keluar dari batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah swt. Apabila kita melupakan Al-Quran atau meninggalkannya, maka kita telah berada di luar batasan Allah swt sedangkan semua itu disebutkan dan diperingatkan di dalam kitabNya.

“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahawa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpaan ini? Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkanNya sesat, dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberiNya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik” (al-Baqarah: 26)

Kesan kepada masyarakat

1. Kehidupan serba sulit

Allah swt telah berjanji bahawa siapa yang berpaling dari ajaran yang telah dibawa oleh nabi saw akan menerima balasan dalam kehidupannya. Kerana petunjuk selain dari Allah mempunyai kekurangan dalam setiap sisi.

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (Taha: 24)

2. Zalim dan hina

Apabila kita lari dari keadilan yang ditunjukkan oleh Allah maka tempat untuk kita adalah kezaliman kerana kita telah meletakkan sesuatu tidak pada posisi yang sepatutnya menurut apa yang dikehendaki Allah. Kebergantungan kepada selain Yang Maha Pencipta iaitu makhluk akan melahirkan kehinaan.

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat TuhanNya, kemudian dia berpaling darinya? Sungguh, Kami akan berikan balasan kepada orang-orang yang berdosa” (as-Sajdah: 22)

3. Nifaq

Nifaq adalah sifat yang berbahaya bagi masyarakat dan bagi individu tersebut. Hal ini kerana orang tidak mengetahui mereka dengan baik, kerana pada zahirnya mereka seperti orang (muslim) lain. Tetapi Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati-hati mereka. Rasulullah saw menceritakan sifat atau cirri-ciri nifaq dan meminta kita menjauhinya.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,” (nescaya) engkau (Muhammad) orang munafik menghalangi dengan keras darimu” (an-Nisa’: 61)

4. Sesat

Petunjuk yang diturunkan oleh Allah swt adalah petunjuk yang jelas kebenaran. Dinyatakan satu persatu oleh Allah swt hakikat-hakikat kebenaran ini dengan bukti-bukti yang begitu jelas sehingga tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk berpaling setelah mereka mengaku beriman, kecuali keingkaran mereka terhadap hakikat yang begitu jelas yang terbukti di hadapannya. Inilah yang disebutkan kesesatan yang nyata.

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahawa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih inginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya” (an-Nisa’: 60)

Kamis, 15 Juli 2010

Hidup di Dunia Hanya Sementara


Saudara-saudaraku yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat..

Hari-hari yang berlalu bagi sesetengah orang berdepan dengan pelbagai ujian. Macam-macam ujian datangnya dari lumrah kehidupan. Ada ujian berbentuk bala dari Allah yang memerlukan banyak kesabaran dan keinsafan seperti berlakunya fenomena perubahan cuaca dan alam. Semuanya kehendak Allah seperti gempa bumi, banjir, ribut itu dan ribut ini, ombak tsunami dan sebagainya.


Semuanya marilah menempuhinya dengan mengambil iktibar bahawa semuanya adalah datang daripada Allah jua untuk manusia semuanya mengambil pelajaran penting iaitu “Tiada Tuhan Melainkan Allah” Yang Maha Berkuasa pada kalimah-Nya “KUN FAYAKUN..”. Dengan berkat kesabaran bagi manusia beriman diberi pula ganjaran pahala berlipat kali ganda dengan sebab bertambahnya iman di dada dengan meyakini Allah penetap segala sesuatu.

Gambaran hidup ini adalah sementara adalah amat benar…lihatlah gunung-gunung yang dahulunya mungkin berjuta tahun lampau telah runtuh begitu sahaja dengan ledakan berapi…itu yang berjuta-juta tahun…apatah umur kita cuma berapa ya? Kalau usia kita 60, 80 tahun pun, cuma sekadar umur bayi sekiranya dibandingkan dengan umur Nabi Nuh Alaihis Salam yang telah diizinkan Allah sampai 1000 tahun lebih umurnya. Bahkan hari-hari, mungkin setiap saat ada yang mati menemui ajalnya.

Sayugia matlamat hidup semestinya menjurus kepada kehidupan Akhirat yang dijanjikan Allah dengan membawa sebaik-baik bekalan. Apakah bekalan itu? Kekayaan dan kemewahan? Pangkat dan darjat? Sedarkah kita sekelian…hari-hari hidup dalam permainan dan ditipu dunia bagi orang yang tidak mahu kepada Syurga. Ingatlah sebaik-baik bekalan adalah ketakwaan kepada Allah. Takutlah kepada Allah!

Oleh itu, majoriti manusia hari ini hidup mengejar kemewahan dan kekayaan, kejar pangkat dan populariti, mengejar nikmat dunia dan hidup kerana perempuan. Seolah-olah semua itu tiada di Akhirat. Walhal Akhirat adalah lebih baik dari segala yang ada di dunia.

Islam tidak melarang mencari dunia tetapi ada kawalan baik dan buruknya, halal dan haramnya. Janganlah menjual agama. Janganlah jadikan kekayaan bertapak di hati kerana akan merosakkan diri, sebaliknya jadikan kekayaan di tapak tangan saja. Tiada ertinya jika kaya tetapi kedekut dan bakhil. Jadilah orang kaya yang banyak pahala dengan menyumbang fi sabillah…bersedekah ke tempat yang di redhai Allah. Orang kaya dan mewah pada kebiasaanya lupa diri dan ego. Akan sentiasa menambahkan kekayaan kerana tamak haloba kerana disangka modal yang banyak harus dipusing-pusing agar bertambah kekayaan dan mendapat populariti. Bangga diri akan memakan diri…bahkan pepatah “orang tamak selalu rugi” ada benarnya, tamak dengan hanya menyimpan tiada disedekah orang mana nak dapat pahala bahkan kematiannya tiada apa yang dibawa ke dalam liang kecuali keranda kayu, kain kapan, kapas, sedikit bau-bauan. Berapakah harganya? Mana keretamu? mana rumahmu? mana hartamu? mana buku-buku akaunmu? Mana kalkulatormu?

Mungkin sebahagian orang-orang ini tidak tahu apa yang akan berlaku sesudah kita dikebumikan…Alangkah meruginya hidup sebegini di dunia. Hidup yang hanya tahu mencari makanan, perhiasan dan melepaskan nafsu semata! Bagai binatang…bangun pagi makan dan makan, cari makan, hidup untuk mencari makan!

Yang fardu dilupa dan dialpakan kononnya terlampau sibuk sehingga ada yang meninggalkan solat fardu kerana mengejar dunia yang tidak pasti….yang tidak kekal….yang sementara. Zakat harta diabaikan bimbang akan rugi…puasa diabaikan bimbang tiada tenaga untuk mengerjakan dunia, haji sengaja dilewat-lewatkan kononnya itulah kewajipan terakhir! Walhal itulah yang mesti diutamakan bila mampu dengan kekayaan dan mampu jasmani. Bukankah itu menyenangkan daripada masa perlukan bantuan orang?

Saudara-saudaraku….jangan tertipu dengan dunia ini. Makin hari semakin banyak godaan terutama skim-skim cepat kaya di dalam rangkaian online dan offline kerana mencari orang. Banyaklah sangat…yang mengundang bala dari Allah dan bakal mengundang… mirip skim Jutawan Firaun yang juta disebut orang sistem piramid. Ramai terpengaruh dengan skim-skim yang menjanjikan pelbagai imbuhan riba.

Apa guna kaya jika segala ibadat sunat dan wajib tidak diterima Allah? Apa guna kaya jika akhirnya masuk neraka?

Membersihkan Jiwa dengan Tauhidillah


Tauhid ialah meng-Esakan Allah dengan melakakukan peribadatan dan penyembahan hanya kepadaNya saja.[1] Segala peribadatan yang berbentuk permohonan, cinta, takut, tawakal, taat, malu dan lain-lain dari gerakan-gerakan hati, lidah maupun anggauta badan, hanya dipersembahkan kepada Allah saja, dengan mengikuti ketentuan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja.

Tauhid yang intinya adalah penyembahan hanya kepada Allah saja ini merupakan penyucian jiwa yang paling besar dan paling penting. Sebab, itulah tujuan pokok diciptakannya manusia dan jin. Orang yang bersih tauhidnya adalah orang yang bersih jiwa dan hatinya.

Lawan dari tauhid adalah syirik. Jika tauhid merupakan kebersihan jiwa yang paling besar, maka kemusyrikan merupakan kotoran jiwa yang paling besar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسُُ التوبة: ٢٨

Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah orang-orang yang najis. (QS. At-Taubah/9 : 28)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat itu bukanlah najis dalam arti fisik. Tetapi najis jiwa dan agamanya.[2]

Dengan demikian, jika orang ingin melakukan proses pembersihan jiwa, maka hal pertama dan paling utama untuk dilakukan adalah membersihkan tauhidnya dari segala macam syirik. Misalnya tidak datang untuk meminta sesuatu kepada dukun atau orang ‘pintar’, tidak meminta-minta kepada kuburan orang shaleh dan tidak ngalap berkah ditempat-tempat keramat atau kuburan-kuburan yang diagungkan.

2- Wudhu’

Wudhu’ juga merupakan proses penyucian jiwa, di samping membersihkan fisik dari kotoran yang melekat pada anggauta fisik tertentu. Imam Nawawi rahimahullah, dalam Riyadhus Shalihin,[3] membawakan satu ayat tentang keutamaan wudhu’ ini, yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman! , Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci; usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’matNya bagimu, agar kamu bersyukur. (Al-Ma’idah/5 : 6)

Beliau juga membawakan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa barangsiapa berwudhu’ dengan benar dan baik, maka kotoran-kotoran jiwanya, berupa dosa dan kesalahan-kesalahannya akan lenyap. Di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ. رواه مسلم

Siapa yang berwudhu’, dan ia memperbagus wudhu’nya, maka akan keluar kesalahan-kesalahan dirinya dari jasadnya hingga keluar pula melalui bawah kuku-kukunya. HR. Muslim.[4]

Jadi, kegiatan ibadah wudhu’pun sebenarnya merupakan pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran dosa.

Demikian pula tayamum serta mandi besar, baik mandi junub, mandi jum’at maupun mandi hari raya. Tentu dengan syarat ikhlas dan diniatkan sebagai peribadatan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

3- Shalat

Shalat juga merupakan pembersihan serta penyucian jiwa. Karena shalat itu dapat menyingkirkan kotoran-kotoran yang berupa perbuatan keji dan munkar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ العنكبوت: ٤٥

Sesungguhnya, shalat akan mencegah perbuatan keji dan munkar. (QS. Al-’Ankabuut/29 : 45)

Sesungguhnya di dalam shalat terkandung tiga unsur penting: ikhlas, takut kepada Allah, dan zikir serta mengingat Allah.

Unsur ikhlas akan mengendalikan pelakunya untuk berbuat kebaikan. Sedangkan unsur takut kepada Allah akan menghalangi pelakunya dari perbuatan munkar. Adapun unsur zikir serta mengingat Allah akan menjadikannya selalu waspada untuk tidak terjerumus ke dalam kejahatan.

Shalat juga merupakan hubungan antara seorang hamba dengan Allah. Pelakunya akan merasa malu ketika menghadap Allah sedangkan ia membawa dosa-dosa besar serta perilaku-perilaku keji.[5]

Maka untuk menyucikan jiwa, cukuplah seseorang melaksanakan shalat dengan ikhlas, benar dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

4- Zakat

Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam, juga ibadah yang membersihkan jiwa. Zakat ini akan dapat membersihkan jiwa dari sifat kikir dan bakhil, serta membersihkan diri dari dosa-dosa.[6]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ التوبة: ١٠٣

Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan (jiwa) mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah/9: 103)

Zakat fitri, shadaqah-shadaqah lain serta infak, baik wajib maupun sunat, semuanya juga merupakan ibadah yang membersihkan jiwa dan harta dari kotoran-kotaran dosa.

5- Demikian pula ibadah puasa, haji serta menyembelih hewan korbanpun adalah amaliah ibadah yang membersihkan jiwa.

Bahkan seluruh syi’ar yang disyari’atkan dalam Islam adalah amal ibadah yang berfungsi membersihkan jiwa menuju kebaikan, ketakwaan serta peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.

Penutup

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat difahami bahwa pembersihan jiwa hanya dapat terwujud dengan memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara benar, mulai yang paling pokok hingga menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan.

Barangsiapa yang menjalankan ketetapan-ketetapan Islam sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia selalu membersihkan jiwanya. Dan barangsiapa yang enggan mengamalkan ajaran Islam atau mengamalkannya tetapi tidak berpedoman pada tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia adalah orang yang mengotori jiwanya. Bahkan barangsiapa yang berusaha membersihkan dan menyucikan jiwa serta qalbunya, tetapi tidak berdasarkan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia justeru sedang mengotori jiwanya. Sebab syari’at Islam adalah syari’at yang sudah sempurna dan lengkap, tidak memerlukan penambahan, apalagi pengurangan.

Maka “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya“.(Asy-Syams: 9-10).

Ya Allah, bimbinglah kami menjadi orang-orang yang bersih jiwanya dan jadikanlah sebagai orang-orang yang beruntung. Wallahu Waliyyu at-Taufiq.

Penulis: KH.A.Khudori Yusuf.Lc.M.A

Catatan kaki:


[1] Lihat Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syaikh, Syarh Tsalatsah al-Ushul, I’dad: Fahd bin Nashir as-sulaiman, Riyadh, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H/1997 M, hal. 39

[2] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz II, dan Tafsir Fathu al-Qadir juz II, QS. At-Taubah: 28

[3] Lihat Riyadhus-Shalihin, Daar Ihya’ at-Turats al-’Arabi & Maktabah al-Ghazali, Beirut, tanpa tahun, bab: Fadhlu al-Wudhu’, hal. 411 dst.

[4] An-Nawawi, Shahih Muslim Syarh an-Nawawi. Op.Cit. III/127, no. hadits: 577.

[5] Lihat al-Hilaly, Salim bin ‘Id, Syaikh, Manhaj al-Anbiya’ Fi Tazkiyati an-Nufus. Op.Cit. h. 63-64.

[6] Al-Hilali, Salim bin ‘Id, Syaikh, Bahjatu an-Nazhirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, KSA, Daar Ibni al-Jauzi, cet. V, J. Ula, 1421, juz II, hal. 346.


Benarkah Kita Hamba Allah???

Marilah kita tanya diri sendiri apakah kita adalah hamba Allah? Kita memang berhak mengatakan bahwa kita adalah hamba Allah. Pertanyaan yang harus kita ajukan lagi adalah, “Apakah Allah juga mengakui bahwa kita adalah hamba-Nya?” Contoh sederhana, kita bisa saja mengatakan bahwa kita adalah keluarga Presiden. Namun, apakah Presiden mengakui bahwa kita adalah keluarganya? Seorang penyair mengatakan:

كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِِلَيْلَى * وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لََهُمْ بِذَاكَا

Semua orang mengaku punya hubungan dengan si jelita Laila
Namun Laila tidak mengakui ucapan mereka
Lalu, siapakah hamba Allah itu?

Hamba Allah adalah hamba yang senantiasa mengabdikan diri pada Tuannya.

Hamba Allah adalah hamba yang selalu merasakan kehadiran Penciptanya di mana pun dia berada.

Hamba Allah adalah hamba yang dengan setia melayani Pemiliknya dengan hati yang ridha.

Bagi hamba Allah, apa pun yang terjadi, hakikatnya adalah antara dirinya dengan Sang Empunya. Apa saja perlakuan orang lain, bagi hamba Allah, itu adalah pemberian yang indah dari Sang Penguasa. Dengan demikian tidak perlu sakit hati, marah atau dendam pada sesama, karena bagi dia semua itu antara dia dengan Allah. Orang lain dan semua yang ada hanyalah hiasan semata, untuk menguji apakah dirinya tetap berorientasi pada tujuannya atau tidak.

Bagi hamba Allah, hidup ini ibarat sebuah perjalanan untuk menuju tujuan yang mulia, pertemuan yang indah dengan Sang Pemilik Kehidupan. Apa pun yang ditemui di tengah jalan adalah kembang perjalanan, keindahan sementara, fatamorgana dan maya—bukanlah hakikat perjalanan itu sendiri.

Bagi hamba Allah, cakrawala boleh melengkung ke bawah, tapi bibir hamba Allah akan tetap melengkung ke atas, menyungging sebuah senyuman :-).

Bagi hamba Allah, hanya kepada-Nya ia menyembah dan hanya kepada-Nyalah memohon pertolongan.

إِيَّاكَ نَعْـبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْـتَعِيْنُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS al-Fâtihah [1] : 5)

Di ayat tersebut, lafazh iyyâka (hanya kepada Engkau) sebagai kata yang mengandung makna penentu, bukan lafazh na‘budu (kami menyembah pada-Mu).

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah perjanjian sakral yang diikrarkan oleh seorang muslim di setiap rakaat shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Dengannya, jiwa selalu terpaut dengan perjanjian agung itu. Demi janji itu manusia diciptakan, para rasul diutus, kitab-kitab suci diturunkan, surga dan neraka diciptakan, jalan menuju surga (ash-shirâth) dibentangkan, neraca amal perbuatan ditegakkan, para makhluk dibangkitkan dari kubur, amal perbuatan diperhitungkan, catatan amal diperlihatkan dan para saksi dihadirkan.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kebahagiaan yang kekal dan keselamatan abadi. Dengannya, kebenaran dan kemenangan terwujud, segala persoalan menjadi mudah, dan kejahatan terhindarkan. Tiada seorang pun mendapat ridha, rahmat, pengampunan, pertolongan, hidayah dan kekuatan dari Allah kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”. Anugerah tak dapat diraih, nestapa tak dapat ditolak, kerusakan tak dapat dihindarkan, bencana dan fitnah tak dapat dicegah, kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kalimat yang akan menjadi pemelihara orang yang merealisasikan makna yang terkandung di dalamnya dari ketergelinciran, kebingungan, kesia-siaan beragama, kehampaan pemikiran, kesesatan pengetahuan, kedunguan moral dan kemerosotan pribadi.

Dalam kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în” tersimpan pemeliharaan dan pertolongan Ilahi, serta perwalian iman dan berkah Al-Qur’an. Berkat kalimat ini, seorang muslim menjadi orang yang berpribadi kuat, berhati terang, berjiwa muthmainnah, berdada lapang dan berpikiran cerah. Ini semua karena ia telah menjalin hubungan langsung dengan Allah, masuk ke dalam nasab ubudiyah, mengenakan mahkota penghambaan kepada Yang Maha Esa, tempat bergantung semua makhluk.

Dengan kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”, jiwa manusia dibersihkan dari kehampaan, hati disucikan dari kemunafikan, amal perbuatan dari riya’, lisan dari ucapan dusta, mata dari pemandangan yang dilarang, dan dari tindakan sewenang-wenang

Bila kita mengaku beriman dan ingin diakui sebagai hamba oleh Allah, maka kita harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan.

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَنْ يُتْرَكُـۤوْا أَنْ يَقُوْلُوْا ءَامَـنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَـنُوْنَ



Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS al-‘Ankabût [29] : 2)

Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS al-‘Ankabût [29] : 3)


Siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-‘Ankabût [29] : 5)

Rasulullah Muhammad saw. bersabda :

إِذَا سَـبَقَتْ ِللْعَبْدِ مِنَ اللهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا ِبعَمَلِهِ ابْتَلاَهُ اللهُ فِيْ جَسَدِهِ أَوْ فِيْ مَالِهِ أَوْ فِيْ وَلَدِهِ، ثُمَّ صَبَرَهُ حَتَّى يُبَلِّغُهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِيْ سَـبَقَتْ لَهُ مِنْهُ


Jika telah ditetapkan bagi seorang hamba suatu kedudukan yang tidak dapat dicapai dengan amalnya, maka Allah menimpakan cobaan terhadap diri, kekayaan atau anaknya, kemudian Dia menjadikannya bersabar dalam menghadapinya sehingga dia pun mencapai kedudukan yang telah ditetapkan kepadanya. (HR Ahmad)

Ada banyak ragam ujian yang bisa diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya. Berikut ini penulis ilustrasikan salah satu jenis ujian sebagai gambaran. Intinya, untuk mengetahui apakah kita lulus dalam ujian itu atau tidak, apakah kita benar-benar menghamba kepada Beliau Yang Memiliki kita atau tidak, apakah dalam hidup ini yang ada hanya kita dengan Allah atau masih ada yang lain, yang tersangkut di dalam hati.

Namun, kita tidak perlu bersedih hati. Seumpama ujian, ada yang lulus dengan nilai cukup, baik atau sempurna. Memang, kesempurnaan hanyalah milik Allah, namun nilai sempurna yang dimaksud di sini adalah nilai 100 untuk sebuah ujian. Yang belum lulus pun, ada bertingkat-tingkat. Ibarat sebuah penilaian, ada yang mendapat A (sempurna), B (baik), C (cukup), D (kurang), E (gagal), dan F (tidak ikut, mangkir atau menghindari ujian).

Akan datang sebuah masalah sebagai ujian bagi kita. Akan terlihat apakah kita menempuh cara-cara yang diridhai-Nya atau tidak. Jika bisa menyelesaikan masalah pertama ini karena ilmu dan pengalaman kita, maka akan datang permasalahan kedua. Di ujian kedua, ilmu dan pengalaman kita tidak akan berarti, tidak bisa diandalkan untuk mengatasinya. Mungkin kita bisa lolos dari ujian kali ini dengan harta kita. Dengan harta kita, kita bisa membeli dan membelanjakannya untuk menyelesaikan tingkat dua dari masalah yang kita hadapi.

Karena kita sudah naik tingkat, maka akan ada ujian ketiga. Di kasus yang menimpa kali ini, ilmu, pengalaman dan harta kita tidak akan banyak membantu. Semuanya terlihat rumit, serumit kalau kita sedang terjebak kemacetan lalu lintas. Kondisi jiwa terasa berat, seperti puisi Ibnu Hazm :

Ketika nestapa melanda jiwa
Api membakar hati, air mata meleleh di pipi
Kala lara menderita hati, menyiksa jiwa
Perasaan mungkin bisa sembunyi
Tapi air mata kan mengalir lama
Derasnya aliran air matamu adalah tanda
Kesedihan yang kau rasakan betapa beratnya

Di sini, kita diuji apakah kita tetap menempuh jalan yang baik atau tidak. Karena usaha keras kita, mungkin ada teman lama, sahabat, saudara, kerabat jauh, relasi, konsultan atau jaringan kita yang lain yang membantu menyelesaikannya. Dan, selesailah ujian tahap ketiga ini.

Kita sudah naik kelas. Di tahap ini, kita akan menerima persoalan yang jauh di atas sebelumnya. Ilmu, pengalaman, harta, teman, sahabat, saudara, relasi, konsultan dan semuanya tak banyak artinya. Kita seolah menemui jalan yang benar-benar buntu, tak terlihat oleh kita sedikit pun celah untuk dapat melaluinya. Semua usaha sepertinya sudah kita lakukan, semua doa rasanya sudah kita panjatkan. Namun hasilnya, tak seperti yang kita harapkan. Pada kondisi inilah kita sungguh diuji, apakah kita hamba Allah atau bukan.



Kalau kita memang hamba Allah, kita akan bersimpuh di hadapan-Nya, mengakui kehambaan kita. Kita nyatakan pada-Nya bahwa kita adalah milik-Nya. Tak satu pun ilmu, harta atau keluarga adalah milik kita. Bahkan nyawa kita pun milik-Nya. Semua milik-Nya semata. Tiada daya dan upaya selain dari Allah Yang Maha Agung (Al-‘Azhîm).



Kita adalah orang fakir di hadapan-Nya, tak memiliki apa-apa selain pemberian-Nya. Kita akan ridha dan bahagia terhadap apa pun yang diberikan-Nya pada kita. Tak ada lagi yang membuat hati kita sedih, karena hati kita sudah terisi akan cinta kepada-Nya. Cinta yang agung, tulus, dan indah. Apa pun yang ditakdirkan untuk kita, itu adalah hadiah dari Dzat yang kita cintai sepenuh hati. Tak akan ada lagi penderitaan yang bisa membuat kita galau dan resah.

Syaikh Ibnu Athaillah memberi nasihat kepada kita, “Nyatakan dengan sungguh-sungguh sifat-sifat kekuranganmu, pasti Allah akan memberimu pertolongan dengan kemuliaan sifat-sifat-Nya. Akuilah kehinaanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Akuilah semua kelemahanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan keagungan, kemampuan dan kekuatan-Nya.”

Melanjutkan nasihatnya, Ibnu Athaillah berkata, “Tidak ada yang dapat menyegerakan suatu permohonan kecuali keadaan yang amat sulit. Tiada satu pun yang dapat mempercepat datangnya karunia dari Allah kecuali dalam keadaan merendahkan diri dan dalam keadaan fakir.”

وَإِلىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ



dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS al-Insyirâh [94] : 8)

Harapan-harapan besar tiada dimiliki kecuali oleh Allah semata. Di tangan-Nyalah terletak kunci segala persoalan. Beliau-lah yang berhak untuk dipinta, diharap dan dituju. Hanya kepada-Nya kita persembahkan asa, harapan dan rasa takut. Hanya kepada-Nya kita mengangkat kedua tangan, berdoa dengan sepenuh hati, penuh iba dan tetesan air mata.

Kalau itu yang kita lakukan—kita tetap pada kehambaan kita—maka akan ada jalan keluar bagi tiap kesulitan. Bukankah sudah ada dua kali jaminan, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan? Itu berarti, satu kesulitan akan diapit oleh dua kemudahan, dan itu juga berarti bahwa bersama satu kesulitan terdapat dua jalan kemudahan yang berbeda.

Ketika malam sudah semakin kelam
Itu pertanda sang fajar akan merekah
Tatkala tali-temali yang mengikat tubuh kita semakin meregang kencang
Itu artinya tali-tali itu akan segera putus
Saat awan sudah semakin gelap
Itu tandanya hujan akan turun dan pelangi akan menghiasi angkasa
(karya ‘Aidh al-Qarni)

Abu Ali ibn Asy-Syibl berpesan, “Dengan menjaga nafsu, akan ada di dalamnya seperti bara api yang tetap dinyalakan di dalam mangkuk. Maka jangan kau padamkan dia dengan putus asa, dan jangan pula kau ulur dengan angan yang memanjang. Berjanjilah kepadanya bahwa dalam kesulitan itu ada kemudahan, dan ingatkan pula bahwa kesulitan itu berada dalam kemudahan. Dihitung kebaikannya ini dan itu, dan dengan menggabungkan semuanya akan berguna sebagai obat mujarab.”

Ketika Nabi Musa as. beserta kaumnya sudah tak tahu lagi apa yang harus dilakukan; di depan terhampar lautan luas membentang siap menenggelamkan, di belakang ada tentara Fir‘aun mengejar menghunus senjata siap membunuh—tatkala jalan sudah buntu—turunlah pertolongan Allah, “Musa, pukullah lautan itu!” Laut pun terbelah, tersibak bak sebuah buku raksasa yang sedang terbuka. Nabi Musa dan pengikutnya pun selamat atas pertolongan Allah.

Maka Fir‘aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit.

Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita telah benar-benar akan tersusul.”

Musa menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”

Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.

Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain.
Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.
Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.

Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.
(QS asy-Syu‘arâ’ [26] : 60-68)

Mengakui dengan tulus kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya kepada para hamba-Nya, Ibnu Hazm al-Andalusi mengungkapkan :

Duhai, semua itu kembali kepada-Nya
Semua adalah milik-Nya dan tunduk kepada-Nya
Dia tunjukkan bukti-bukti kekuasaan-Nya
Lewat para nabi dan rasul utusan-Nya
Lihatlah kekuasaan-kekuasaan-Nya

Di tangan Nabi Shaleh yang mulia
Dari batu muncul seekor unta betina
Mereka lihat wujudnya dan dengar suaranya
Di tangan Nabi Musa yang mulia
Laut terbelah dengan sangat mudahnya
Menjadi jalan keselamatan menuju seberang sana

Ibrahim kekasih-Nya selamat dari api yang membara
Api yang merah panas menyala, dirasanya dingin saja
Nabi Nuh dan seluruh pengikut setianya
Selamat dari amukan bandang dan topan luar biasa
Kepada Sulaiman, Dia tundukkan jin dan manusia
Semua orang dan binatang tunduk dalam kerajaannya
Semua bahasa ia bisa, bahasa burung pun dikuasainya

Pada saat orang-orang yang beriman dan rasul-Nya sudah tidak mengerti apa yang harus diperbuat; harta, saudara, ilmu dan pengalaman mereka sudah tidak bisa diandalkan; mereka merintih, meratap, menangis dan berdoa, “matâ nashrullâh (Bilakah datangnya pertolongan Allah)?” Saat itulah jawaban disampaikan, alâ inna nashrallâhi qarîb (Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat).”

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS al-Baqarah [2] : 214)



Bagi orang-orang yang benar-benar mengakui kehambaannya di sisi Allah, tidak akan ada ketakukan dan kesedihan, walaupun maut di depan mata. Malaikat akan menghibur mereka, surga pun sudah disiapkan, para bidadari sedang berbaris bersiap menyambut kedatangan hamba Allah dengan senyum indahnya, senyuman yang menyejukkan hati, teduh memandikan jiwa yang sepi.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS Fushshilat [41] : 30)

Mungkin kita akan bertanya, “Logikanya bagaimana? Kok bisa orang yang mengakui kehambaannya kepada Allah tidak akan merasakan kesedihan walaupun penderitaan sedang dialaminya? Ah, itu semua kan dogma dan sepertinya tidak masuk akal!”



Baiklah, mari kita bicara logika, karena akal memang diciptakan untuk menguatkan iman agar tertanam kuat di dalam hati kita—seperti pondasi rumah yang sangat kokoh.

Jika seseorang sudah mengakui bahwa dia adalah hamba dan Allah adalah Tuhannya, maka dia akan sadar bahwa dirinya fakir (gelandangan), tidak punya apa-apa, sebagaimana keadaannya waktu bayi.

Bagi seorang gelandangan, tidak ada yang disebut kehilangan, karena memang dia tidak memiliki apa pun.

Bagi seorang gelandangan, tidaklah merisaukan hati dan membebani pikiran, meskipun harus melewati panasnya jalan, gunungan sampah dan lautan lumpur.

Bagi seorang gelandangan, kemiskinan adalah baju kehidupan, sedangkan kekurangan adalah selimut dunia.

Bagi seorang gelandangan, tidak disebut penderitaan walaupun harus memungut sisa makanan yang dibuang di pinggir jalan.

Bagi seorang gelandangan, kelaparan adalah pembersihan tubuh dari sumber penyakit, dan kehausan adalah rasa yang disyaratkan untuk menikmati segarnya setetes embun dan seteguk air.

Bagi seorang gelandangan, itu semua sudah seperti udara yang dia hirup, sudah kebiasaan sehari-hari.

Istilah ilmiah sekarang, EQ (Emotional Quotient) atau disebut juga EI (Emotional Intelligence) dan SQ (Spiritual Quotient) seorang hamba Allah sudah mencapai tingkat tertinggi (mumpuni).

Kebanggan menjadi hamba Allah diungkapkan oleh seorang penyair dalam bait syairnya :



Yang menjadi kemuliaan dan kebanggaanku
Dan yang membuat kakiku menginjak bintang kejora
Adalah sebab aku termasuk dalam panggilan-Mu, “Wahai Hamba-Ku”
Dan Engkau menjadikan Muhammad sebagai Nabiku





Daftar Pustaka :

Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419*

‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007*

‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006*

Ibnu Hazm al-Andalusi, asy-Syaikh, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007*

Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006*

Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000*

Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”